Kembali ke dalam rasa kesendirian di tengah ramainya orang - orang
sekitar. Serasa tanpa nafsu untuk menjalani hari. Penolakan berbagai
ajakan untuk bergaul sudah gue lakukan. Berusaha untuk tetap ceria,
tetapi hanya berujung pada senyuman palsu. Tawa pun bergema tanpa rasa.
Ada perasaan separuh jiwa gue terbang hilang tak tau arahnya. Lalu gue
tersadar, gue gak boleh terlarut dalam keadaan seperti ini. Gue harus
merasakan indahnya senyuman dan manisnya tawa. Untungnya, gue tau harus
dibawa ke mana diri gue.
Berawal dari sebuah pesan singkat berisi ajakan dengan sedikit paksaan untuk makan siang bareng ke temen - temen lama, gue berjalan menuju Kantin Sastra FIB UI. Seperti burung yang kembali ke sangkarnya, seolah Bang Toyib yang pulang ke rumahnya, kembali gue berada di tempat yang dulu sering gue pakai untuk menghabiskan waktu. Sialnya, sekarang gue masih sendiri. Yang lain masih di kelas. Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya temen - temen gue dateng. Wajah - wajah lama yang paling gue rindukan sejak kepergian gue yang dinilai terlalu cepat. Sekejap, pandangan gue mengarah ke seseorang yang mungkin paling gue rindukan.
Namanya Brie........
Pertama kali ketemu tahun lalu ketika jaman - jamannya ospek. Gue masih inget banget kata - kata pertama yang dia ucapkan ke gue, "Pon, suara lo fals". Emang sih bukan kata kata yang bagus. Tapi, secepat dia bilang kalau suara gue fals, secepat itulah gue jatuh cinta sama dia. Ok, mungkin hanya sebatas menyukai.
Sekarang Brie duduk di samping gue. Masih mempesona seperti pertama kali mata bertemu. Raut Wajah yang manis, kulit yang bersih, tubuh yang indah. Belum lagi bicara tentang otak dan bakatnya. Ah, sudahlah. Mungkin Brie adalah hasil lukisan dewa Apollo.
Saat ini menurut gue Brie terlihat lebih dewasa. Rambut panjang diikat model pony tail. Long shirt, skinny jeans, dan wedge sneakers putih membalut tubuh indahnya. Jujur, gue makin gak kuat liat fisiknya, bahkan mendengar suaranya. Kalo ini acara dunia lain, gue pasti udah melambai ke kamera.
Mungkinkah gue hanya sebatas menyukainya? Mengingat setelah sekian lama berpisah dengannya, rasa itu masih ada. Rasa kekaguman terhadap keindahan yang bukan buatan. Wajah yang cantik tanpa make-up. Tubuh yang indah tanpa pakaian yang minim. Semuanya Natural. Keindahan yang apa adanya. Semuanya nyata. Tanpa special effect seperti film – film hollywood.
Karena setiap detik yang gue habisakan untuk memandang wajahnya, itulah setiap detik dimana gue merasa dunia menjadi lebih indah.
Berawal dari sebuah pesan singkat berisi ajakan dengan sedikit paksaan untuk makan siang bareng ke temen - temen lama, gue berjalan menuju Kantin Sastra FIB UI. Seperti burung yang kembali ke sangkarnya, seolah Bang Toyib yang pulang ke rumahnya, kembali gue berada di tempat yang dulu sering gue pakai untuk menghabiskan waktu. Sialnya, sekarang gue masih sendiri. Yang lain masih di kelas. Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya temen - temen gue dateng. Wajah - wajah lama yang paling gue rindukan sejak kepergian gue yang dinilai terlalu cepat. Sekejap, pandangan gue mengarah ke seseorang yang mungkin paling gue rindukan.
Namanya Brie........
Pertama kali ketemu tahun lalu ketika jaman - jamannya ospek. Gue masih inget banget kata - kata pertama yang dia ucapkan ke gue, "Pon, suara lo fals". Emang sih bukan kata kata yang bagus. Tapi, secepat dia bilang kalau suara gue fals, secepat itulah gue jatuh cinta sama dia. Ok, mungkin hanya sebatas menyukai.
Sekarang Brie duduk di samping gue. Masih mempesona seperti pertama kali mata bertemu. Raut Wajah yang manis, kulit yang bersih, tubuh yang indah. Belum lagi bicara tentang otak dan bakatnya. Ah, sudahlah. Mungkin Brie adalah hasil lukisan dewa Apollo.
Saat ini menurut gue Brie terlihat lebih dewasa. Rambut panjang diikat model pony tail. Long shirt, skinny jeans, dan wedge sneakers putih membalut tubuh indahnya. Jujur, gue makin gak kuat liat fisiknya, bahkan mendengar suaranya. Kalo ini acara dunia lain, gue pasti udah melambai ke kamera.
Mungkinkah gue hanya sebatas menyukainya? Mengingat setelah sekian lama berpisah dengannya, rasa itu masih ada. Rasa kekaguman terhadap keindahan yang bukan buatan. Wajah yang cantik tanpa make-up. Tubuh yang indah tanpa pakaian yang minim. Semuanya Natural. Keindahan yang apa adanya. Semuanya nyata. Tanpa special effect seperti film – film hollywood.
Brie.....
Brie..... dan Brie lagi.....
Hati ini seakan tak pernah berhenti untuk meneriakan namanya. Otak ini pun tak pernah lelah ketika menuliskan rangkuman kisah kita berdua. Yang mungkin tak disadarinya telah terukir jelas di benak gue.
Gue akui
kalau gue menyukai dia secara berlebihan. Menganggap seakan Brie adalah sesosok
wanita sempurna. Atau mungkin Brie
memang sesosok wanita yang sempurna? Entahlah. Yang jelas dia mampu membuat gue
mengingat dirinya sepanjang waktu. Mengingat matanya yang membuat gue
tertunduk tak mampu menatapnya. Pipinya yang kemerahan mampu menanamkan
keinginan di hati untuk mengecupnya dengan seluruh rasa sayang yang gue miliki.
Gue tak akan
pernah lelah untuk menghadiahkannya pujian. Meskipun gue hanya mengejar
bayangan. Meski hanya bisa melakukannya dalam mimpi dan angan. Mungkin gue dan
Brie hanya akan menjadi teman biasa. Tapi, biarlah keadaan seperti ini.
Memiliki Brie sebagai teman sudah lebih dari cukup bagi gue. Bertemu dengannya,
terutama di saat gue sedang muak akan kehidupan, adalah sebuah anugerah tanpa batas
Sayangnya, saat gue gak bisa berkata banyak. Banyak hal yang ada di
kepala gue, tetapi hanya sampai tenggorokan. Yah, gue juga gak mungkin
terlalu sering berinteraksi sama Brie, ada temen yang lain yang gak bisa
gue anggurin. Setidaknya gue hanya semenit - dua menit berbicara berdua. Dan
gue pun menikmati setiap detiknya.
Karena setiap detik yang gue habisakan untuk memandang wajahnya, itulah setiap detik dimana gue merasa dunia menjadi lebih indah.
Kantin Sastra
2013
No comments:
Post a Comment