Lagu Hujan

Mungkin udah berkali - kali gue bilang kalo terjebak itu gak enak. Terutama terjebak masa lalu. Sekarang pun gue lagi terjebak. Walaupun bukan terjebak masa lalu, tapi kisah gue kali ini juga cukup tragis.

Gue sekarang lagi di kamar temen gue di asrama kampus. Gue tadinya mau ngerjain tugas akuntansi yang dikumpulin minggu depan. Gue yang udah terlanjur berangkat pagi, akhirnya nyasar ke gramedia dulu. Gue akui kalo ini keputusan yang salah karena 2 hari lagi (dan selama dua minggu ke depan) gue akan mengghadapi ujian akhir semester yang akan menggerogoti organ dalam gue secara perlahan. Gak lama kemudian, temen gue bales whatsapp. Pesan yang mungkin udah gue kirim dari jaman SD. Isinya memperbolehkan gue untuk berkunjung, sekalian numpang makan, ke asramanya.

Setelah beberapa lama mendekam di asrama, hujan turun. Menjadikan kerja kelompok terpaksa dibatalkan. Tinggalah gue di asrama. Dilema. Terjebak di antara dua pilihan yang sulit untuk dipilih. Mau tetep di asrama, dua hari lagi UAS. Mau pulang, tapi nanti bakalan basah. Terus gue sakit. Terus gue gak UAS. Terus UAS susulan pas malem taun baru. Terus gue gak liat kembang api. Terus........ Ok, ini lebay. Mana ada UAS susulan tengah malem.

Pada akhirnya gue memutuskan untuk tinggal di asrama menunggu hujan berhenti turun sampai waktu yang tak dapat ditentukan. Sepanjang waktu gue cuma bengong liat tembok. Bosen sih, tapi mau gimana lagi. Daripada gue gak liat kembang api.

Seperti yang pernah gue baca di artikel internet, hujan itu mengandung suatu senyawa yang bisa membuat orang teringat akan masa lalunya. Senyawa yang entah apa namanya itu. Gue gak tau sih itu benar secara ilmiah atau enggak. Yang jelas itu terjadi sama gue. Ingatan gue kembali ke 2 minggu yang lalu. Saat gue juga terjebak hujan.

Saat 2 minggu yang lalu keadaan gue juga seperti ini. Terjebak hujan ketika mau pulang karena besoknya ada kuis statistik. Untungnya, gue terjebak di tempat yang menyenangkan bersama orang - orang yang juga menyenangkan. Di Kantin Sastra sama temen - temen Sastra Cina. Tetep aja sih semenyenangkan - menyenangkannya terjebak hujan, besok gue kuis statistik. STATISTIK!!!

Di tengah mikirin nasib, tiba - tiba entah dari mana terlintas sebuah pertanyaan,

"Eh, ada lagu tentang hujan gak sih?"
"HAH?"
"Iya. Lagu yang temanya hujan - hujan gitu"
 "Bentar, Pon. Gue mikir dulu" Akhirnya, Chika mau jawab pertanyaan gue. Keliatan dari mukanya lagi mikir keras.

♫......Yang, hujan turun lagi. Di bawah batu nisan ku berbaring.......♫

MATI AJE LO, CHIK!

"Pon, lo tadi nanya apa?" Nah, kalo sama Anna gue percaya. She's a real musician. Suara langkah kakinya aja bernada C#m7. Pasti dia punya jawaban bagus.
"Ada lagu tentang hujan gak?" Gue bertanya dengan sejuta harapan dan angan - angan.
"\Gak ada"

GANTUNG GUE SEKARANG!!!

"Eh, ada deh" Akhirnya Anna memberi secercah harapan. "Lagunya Kaprodi Filsafat. Cari aja di Youtube"
"Eh, serius lo, Na. Gila, dia..........." Suasana pun jadi rame ngomongin Kaprodi Filsafat yang katanya cantik, pinter, bisa nari. Dan sekarang pada baru tau kalo suaranya bagus.

Akhirnya, gue menyingkir dari permainan. Gue gak kenal sama Kaprodi Filsafat. Tapi, mungkin dia (lebih tepatnya beliau) pernah merasakan apa yang gue rasakan. Tentang hujan yang bisa mengingatkan masa lalu.

Hanya saja saat itu gue berharap hujan bisa menggambarkan tentang masa depan kita.

Asrama UI Gedung D
Desember, 14 2013

Siang Untuk Brie

Kembali ke dalam rasa kesendirian di tengah ramainya orang - orang sekitar. Serasa tanpa nafsu untuk menjalani hari. Penolakan berbagai ajakan untuk bergaul sudah gue lakukan. Berusaha untuk tetap ceria, tetapi hanya berujung pada senyuman palsu. Tawa pun bergema tanpa rasa. Ada perasaan separuh jiwa gue terbang hilang tak tau arahnya. Lalu gue tersadar, gue gak boleh terlarut dalam keadaan seperti ini. Gue harus merasakan indahnya senyuman dan manisnya tawa. Untungnya, gue tau harus dibawa ke mana diri gue.

Berawal dari sebuah pesan singkat berisi ajakan dengan sedikit paksaan untuk makan siang bareng ke temen - temen lama, gue berjalan menuju Kantin Sastra FIB UI. Seperti burung yang kembali ke sangkarnya, seolah Bang Toyib yang pulang ke rumahnya, kembali gue berada di tempat yang dulu sering gue pakai untuk menghabiskan waktu. Sialnya, sekarang gue masih sendiri. Yang lain masih di kelas. Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya temen - temen gue dateng. Wajah - wajah lama yang paling gue rindukan sejak kepergian gue yang dinilai terlalu cepat. Sekejap, pandangan gue mengarah ke seseorang yang mungkin paling gue rindukan.

Namanya Brie........
Pertama kali ketemu tahun lalu ketika jaman - jamannya ospek. Gue masih inget banget kata - kata pertama yang dia ucapkan ke gue, "Pon, suara lo fals". Emang sih bukan kata kata yang bagus. Tapi, secepat dia bilang kalau suara gue fals, secepat itulah gue jatuh cinta sama dia. Ok, mungkin hanya sebatas menyukai.

Sekarang Brie duduk di samping gue. Masih mempesona seperti pertama kali mata bertemu. Raut Wajah yang manis, kulit yang bersih, tubuh yang indah. Belum lagi bicara tentang otak dan bakatnya. Ah, sudahlah. Mungkin Brie adalah hasil lukisan dewa Apollo.

Saat ini menurut gue Brie terlihat lebih dewasa. Rambut panjang diikat model pony tail. Long shirt, skinny jeans, dan wedge sneakers putih membalut tubuh indahnya. Jujur, gue makin gak kuat liat fisiknya, bahkan mendengar suaranya. Kalo ini acara dunia lain, gue pasti udah melambai ke kamera.

Mungkinkah gue hanya sebatas menyukainya? Mengingat setelah sekian lama berpisah dengannya, rasa itu masih ada. Rasa kekaguman terhadap keindahan yang bukan buatan. Wajah yang cantik tanpa make-up. Tubuh yang indah tanpa pakaian yang minim. Semuanya Natural. Keindahan yang apa adanya. Semuanya nyata. Tanpa special effect seperti film – film hollywood.

Brie..... Brie..... dan Brie lagi.....
Hati ini seakan tak pernah berhenti untuk meneriakan namanya. Otak ini pun tak pernah lelah ketika menuliskan rangkuman kisah kita berdua. Yang mungkin tak disadarinya telah terukir jelas di benak gue.

Gue akui kalau gue menyukai dia secara berlebihan. Menganggap seakan Brie adalah sesosok wanita sempurna. Atau mungkin Brie memang sesosok wanita yang sempurna? Entahlah. Yang jelas dia mampu membuat gue mengingat dirinya sepanjang waktu. Mengingat matanya yang membuat gue tertunduk tak mampu menatapnya. Pipinya yang kemerahan mampu menanamkan keinginan di hati untuk mengecupnya dengan seluruh rasa sayang yang gue miliki. 

Gue tak akan pernah lelah untuk menghadiahkannya pujian. Meskipun gue hanya mengejar bayangan. Meski hanya bisa melakukannya dalam mimpi dan angan. Mungkin gue dan Brie hanya akan menjadi teman biasa. Tapi, biarlah keadaan seperti ini. Memiliki Brie sebagai teman sudah lebih dari cukup bagi gue. Bertemu dengannya, terutama di saat gue sedang muak akan kehidupan, adalah sebuah anugerah tanpa batas

Sayangnya, saat gue gak bisa berkata banyak. Banyak hal yang ada di kepala gue, tetapi hanya sampai tenggorokan. Yah, gue juga gak mungkin terlalu sering berinteraksi sama Brie, ada temen yang lain yang gak bisa gue anggurin. Setidaknya gue hanya semenit - dua menit berbicara berdua. Dan gue pun menikmati setiap detiknya.

Karena setiap detik yang gue habisakan untuk memandang wajahnya, itulah setiap detik dimana gue merasa dunia menjadi lebih indah.


Kantin Sastra
2013